Banyak Ditolak, RUU Omnibus Law Dianggap Merugikan Para Pekerja Indonesia

Beberapa waktu lalu pemerintah mengusulkan sebuah rancangan undang-undang, terkait masalah perburuhan dalam negeri. Sayanganya usulan tersebut mendapat respon negatif dari masyarakat. Ruang publik dibuat geram dan ramai-ramai untuk menyatakan penolakan. Sebagian besar buruh dan mahasiswa melancarkan aksi, untuk menolak RUU Omnibus Law yang menguntungkan pihak tertentu. Berikut isi beberapa aturan baru yang mulai dirancang oleh pemerintah.

Adanya Timpang Sosial dalam Kalangan Pekerja

  1. Masuk 6 Hari Kerja

Sesuai dengan UU Ketenagakerjaan pasal 79 ayat 2 nomor 13 tahun 2003, pekerja diberi libur dua hari dalam 1 minggu. Selain itu pekerja diberikan waktu istirahat minimal selama 30 menit, setelah bekerja selama 4 jam. Dengan waktu kerja paling lama sebanyak 8 jam sehari, dan 40 jam dalam satu minggu. Aturan tersebut dibuat setelah mempertimbangkan banyak hal, tentunya berdasarkan toleransi kemanusiaan yang sudah terukur.

Lain halnya dengan rancangan aturan yang baru, bahwa pekerja hanya diberi libur 1 hari dalam 1 minggu. Tentunya hal ini kurang adil bagi pekerja yang menggunakan fisik dalam pekerjaannya. Mereka tidak bisa istirahat dengan baik untuk memulihkan tenaga yang sudah habis. Oleh sebab itu aturan tersebut dianggap tidak seimbang, khususnya bagi para buruh pabrik dan bangunan. Karena dianggap sudah melampaui hari efektif yang sebenarnya.

  1. Upah Minimum Terancam Hilang

Setiap Kota atau Kabupaten memiliki aturan upah minimum, yang dijadikan standar gaji bagi para pengusaha. Sehingga setiap kota mempunyai standar upah yang berbeda-beda. Namun pada aturan baru tertulis dalam pasal 88C Ayat 2, bahwa Gubernur yang akan menentukan upah minimum. Lebih tepatnya saat ini disebut dengan upah minimum provinsi (UMP), bukan lagi UMK seperti dahulu. Hal tersebut memungkinkan adanya perubahan skema pengupahan untuk pekerja.

Perubahan ini dirasa kurang adil sebab kebutuhan hidup setiap kota berbeda-beda. Misalnya saja ditetapkan upah sebesar 1 juta untuk provinsi Jawa Timur. Padahal daerah Malang dan Kediri standar hidupnya tidak sama, alhasil ada timpang yang terjadi antar daerah. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku untuk industri kecil ataupun industri karya. Mereka masih berada pada aturan awal, yaitu menentukan sendiri berapa gaji para pekerja.

  1. Besaran Pesangon Berkurang

Biasanya pekerja yang di PHK akan mendapatkan pesangon, sesuai dengan lamanya Ia bekerja. Jumlah pesangon pun tidaklah sedikit dan bisa mencukupi untuk bertahan hidup. Tetapi dalam ketentuan ini pemerintah memangkas besaran pesangon yang wajib diberikan. Padahal ada beberapa pekerja yang mengandalkan pesangon, mungkin untuk keperluan yang lebih urgent. Namun pemerintah tetap memotong besarannya, sesuai dengan aturan baru.

Ketentuan dalam RUU Omnibus Law ini tentunya diprotes oleh banyak masyarakat. Menurut mereka pesangon adalah bagian dari hak para buruh, tidak adil rasanya jika hak buruh diambil paksa. Lalu apa yang bisa buruh andalkan lagi apabila satu-satunya pegangan, justru menguntungkan pihak lainnya. Pada pasal 89 poin 45 ditetapkan ketentuan pesangon sesuai masa kerja, salah satunya, lama kerja buruh kurang dari 1 tahun dapat pesangon setara upah 1 bulan.

  1. Tidak Ada Cuti Haid Bagi Perempuan

Pada UUK pasal 81 tahun 2003, ada aturan tentang pekerja perempuan bisa mengambil cuti saat haid hari pertama dan kedua. Namun draft RUU Cipta Kerja menghapus izin libur haid bagi perempuan. Tentunya hal ini mengundang amarah tersendiri bagi pegiat organisasi keperempuanan. Menurut mereka buruh perempuan semakin tidak mendapatkan hak kesehatan reproduksinya. Artinya ruang perempuan untuk berkembang mulai dibatasi dan tidak mendapat kebebasan.

Padahal baik laki-laki atau perempuan harusnya memperoleh kesempatan yang sama. Boleh berkembang pada satu koridor yang sejenis, tapi mengapa masih terbatas geraknya. Seakan ingin menghilangkan eksistensi perempuan dalam ranah publik. Mereka yang mengerti justru merasa aturan ini tidak adil, seolah membuat perempuan mundur secara perlahan. Oleh sebab itu usulan undang-undang ini banyak mendapat penolakan dari berbagai kalangan.

  1. Perubahan Alasan PHK

Merujuk pada UU Ketenagakerjaan ada 9 poin yang menjadi alasan, mengapa perusahaan boleh memecat pekerja. Salah satunya karena perusahaan dalam kondisi hampir bangkrut, dan mengalami banyak kerugian. Dimana si pemilik tidak lagi bisa memberikan upah sesuai dengan standar minimum. Namun dalam RUU Cipta Kerja aturan PHK dipersempit menjadi 5 poin. Diantaranya saat perusahaan melakukan efisiensi atau ada kewajiban pembayaran utang.

  1. Bisa Kontrak Kerja Seumur Hidup

Sebenarnya pekerja mendapatkan kontrak kerja pada suatu perusahaan selama 2 tahun. Kemudian baru boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun, untuk selanjutnya tergantung pada kinerja masing-masing. Seiring dengan adanya perubahan undang-undang tenaga kerja, maka tidak ada batasan pekerja akan dikontrak berapa tahun. Mereka bisa saja menjadi pekerja kontrak seumur hidup, tetapi tetap tidak setara dengan pekerja asli.

Hal ini membuat pekerja bisa berpidah tempat kerja kapanpun, saat dirasa perusahaan pertama tidak memberi kenyamanan. Sayangnya justru aturan ini akan sedikit merugikan perusahaan, karena tidak ada ikatan yang terjalin dengan para pekerja. Wajar apabila akhirnya pemilik usaha menetapkan kontrak kerja seumur hidup. Akan beresiko pekerja tidak bisa pergi kemanapun.

  1. Upah Dihitung Berdasar Satuan Waktu

Pasal 88 B dalam RUU Omnibus Law menetapkan bahwa upah pekerja akan dihitung berdasarkan satuan waktu. Jadi dasar perhitungannya berdasarkan berapa jam pekerja melakukan produktivitas. Ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu upah menjadi lebih banyak atau jumlahnya sedikit. Pasalnya jika standar kerja 8 jam sehari maka upah yang diberikan sebanyak total jam tersebut.

  1. Outsourcing Dibuka Bebas

Dulu sistem outsourcing digunakan untuk sektor pekerjaan penunjang seperti satpan, cleaning service, hingga pengantar surat. Namun saat pasal 66 dalam UU Ketenegakerjaan dihapus, resikonya semua jenis pekerjaan bisa outsourcing. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri, pasalnya gaji yang didapatkan standar outsourcing tapi volume pekerjaan seperti pekerja tetap.

Seperti diberitakan portal berita Tasikmalaya, mahasiswa melakukan aksi demo terhadap perubahan UU ini. Mereka mewakili masyarakat untuk menyampaikan penolakan RUU yang mengancam pekerja. Aksi tersebut memunculkan berbagai kericuhan yang tidak bisa dihindarkan, demi diterimanya penolakan agar sampai pada pemerintah pusat. Dan berharap bahwa RUU tidak jadi disahkan sesuai persetujuan.